Antara Minyak Tanah, Gas, Kayu dan Hutan
Minyak tanah dikurangi lagi pasokannya karena pemerintah ingin menyukseskan program konversi ke Gas. Isu itulah yang berkembang di masyarakat karena kelangkaan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut pun menyebabkan penimbunan minyak tanah bagi masyarakat yang tidak atau belum mendapat jatah konversi. Begitu juga, dengan warga yang telah memperoleh jatah pembagian kompor dan gas dari pemerintah tetapi tidak siap untuk melaksanakannya. Tidak siap melaksanakannya dalam arti mereka tidak bisa menggunakan/mengopersionalkan kompor gas yang telah diberikan. Atau mereka bisa mengoperasionalkan tetapi merasa ‘sayang’ menggunakannya karena harga gas mahal. Mereka tidak bisa membeli gas karena pendapatan keluarga sifatnya harian. Jadi, mereka tidak mampu membeli dengan harga minimal 13 ribu rupiah. Mereka hanya bisa membeli bahan bakar dengan cara mencicil. Akhirnya, mereka pun tetap menggunakan minyak tanah. Apalagi, media selalu mengembar-emborkan bahwa harga gas akan naik. Nah, semakin gencar pula mereka menjadi spikulan.
Lalu, sebagian masyarakat beralih untuk menggunakan kayu bakar. Apalagi bagi mereka yang selama ini telah dan masih menggunakan kayu bakar. Sehingga permintaan akan kayu bakar pun meningkat. Ini adalah sebuah alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas, kembali ke alam. Kayu bakar yang diperoleh di hutan dari ranting-ranting pohon kering yang telah berguguran dan tumbang pun dapat dimanfaatkan kembali. Kayu bakar yang selama ini disisihkan karena modernitas alat-alat rumah tangga diacuhkan dan ditengok lagi. Sungguh menarik dan mengharukan, tetapi akan sebaliknya jika proses alam dilanggar.
Bayangkan, jika pencari kayu bakar yang pada awalnya bersifat sekedarnya dan bergantung pada alam kemudian berubah. Mereka berubah dengan kepentingannya, memanfaatkan moment saat ini untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Apa yang akan terjadi?
Kebiasaan yang mereka lakukan pun akan ditingkatkan. Mereka tidak lagi ‘luru’ dalam bahasa Jawa, yang berarti mengambil kayu-kayu yang jatuh dan tumbang seiring proses alam, tetapi justru menjadi pembuat kayu bakar. Itu berarti mereka pun tak akan segan-segan lagi menebang pohon-pohon di hutan, tidak hanya dijadikan bahan bakar rumah tangganya tetapi bahan bakar untuk dijual. Untung besar pun diperoleh.
Lalu bagaimana dengan nasib hutan? Hutan pun menjadi gundul karena nafsu, keserakahan bahkan keberingasan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya, menebang pohon-pohon di hutan. Apalagi jika tidak diimbangi dengan reboisasi atau penanaman kembali. Dan yang terjadi hutan pun gundul, bila hujan turun, tanah menjadi longsor dan banjir badang pun dapat terjadi, menggenangi seluruh permukaan bumi Indonesia ini. Belum lagi, efek rumah kaca pun akan semakin besar karena tidak ada lagi penyeimbang pembakaran yang terjadi akibat bahan bakar dan kayu bakar. Dengan demikian, pemanasan global pun tak terelakkan bahkan telah terjadi saat ini. Akan tetapi, hal tersebut tidak akan terjadi dan dapat ditanggulangi serta direduksi/minimalisir jika pencari kayu bakar tetap menjalani ritual alam. Begitu juga dengan, pemerintah dengan kebijakannya dan rakyat Indonesia dengan suara-suaranya. (Mury, 15 Januari 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar