Power dalam Seruni untuk Pak Haji
Seruni
untuk pak haji adalah sebuah kisah keluarga poligami di suatu desa yang subur
dan pertanian sebagai mata pencaharian utamanya. Pak haji adalah salah satu
orang terpandang yang sejahtera dan mapan secara ekonomi. Pak haji dan istrinya
adalah pasangan yang telah berusia lanjut dan belum dikaruniai seorang anak
pun. Oleh karena itu, mereka berencana menyalurkan sebagian hartanya untuk
membangun sebuah masjid.
Pada
mulanya, Seruni diangkat sebagai anak bapak dan ibu haji. Tetapi dia justru
menjadi istri kedua pak haji kemudian. Ibu haji ingin mempunyai keturunan padahal
dirinya tidak dapat memberikan keturunan. Untuk itulah, bu haji mengizinkan pak
haji untuk menikahi Seruni. Akan tetapi, bapak dan ibu Haji membuat kesepakatan
bahwa anak pertama akan dipelihara oleh bu Haji sebelum pak Haji menikahi
Seruni.
Bu
Haji sebagai perempuan pertama di rumah pak Haji tampak cemburu kepada Seruni.
Dia mengekspresikan rasanya dengan memberlakukan banyak peraturan kepada pak
Haji, dan Seruni pada khususnya. Sehingga Seruni pun merasa diatur dan dipaksa
oleh bu Haji. Hal ini menimbulkan dorongan pada diri Seruni untuk menuntut pada
pak Haji. Konflik Keluarga Poligami pun dimulai pada tahap ini.
Seruni
yang masih sangat muda dan cantik pun mulai meminta pembelaan pak Haji. Dia
menceritakan setiap perbuatan bu Haji padanya sehingga mendorong pak Haji untuk
membelanya. Sementara bu Haji yang mulai kehilangan powernya karena secara fisik lebih tua pun mempertahankan dirinya
dengan secara tegas dan cukup kaku memberlakukan kesepakatan awal dan
perjanjian antara pak Haji dengannya. Akan tetapi, hal ini tidak dapat diterima
oleh Seruni dengan dalih bahwa dia tidak terlibat dalam kesepakatan tersebut.
Pada tahap inilah Seruni mulai menggunakan powernya
sebagai perempuan kedua di rumah pak Haji. Apalagi setelah Seruni berhasil
hamil.
Seruni
sebagai perempuan kedua mulai merajalela karena merasa diperalat oleh bu Haji,
sebagai perempuan pertama. Perdebatan sengit pertama adalah tentang hak asuh
terhadap anak yang dikandung oleh Seruni. Mereka memperebutkan status ibu, jika
anak yang dikandung Seruni dipelihara oleh bu Haji kelak. “Siapa yang disebut
ibu?”tanya Seruni. Pada tahap ini, kesepakatan tentang pengasuhan anak pun
antar pak Haji dan bu Haji pun secara perlahan-lahan mulai dilanggar. Pak Haji
selalu meminta agar bu Haji sebagai istri pertama mengerti psikis istri kedua.
Padahal sebelum pernikahan dilakukan, pak Haji telah sepakat bahwa anak pertama
akan diasuh oleh bu Haji. Begitu juga terhadap Seruni, pak Haji juga memahamkan
kepadanya bahwa bu Haji tidak sekaku yang dia kira.
Akhirnya,
pak Haji pun mencoba untuk membuat kesepakatan ulang dengan keduanya. Di
sinilah power pak Haji mulai
ditampakkan. Meskipun pak Haji menempatkan diri sebagai penengah di antara
keduanya, tetapi nampak sekali bahwa powernya
sebagai laki-laki harus diterima oleh keduanya. Mereka tidak mempunyai
kemampuan untuk menolak opsi yang diberikan oleh pak Haji, karena memang posisi
keduanya harus berbagi dalam keadaan tersebut. Di satu sisi, Seruni merasa
bahwa dia adalah ibu dari bayi yang dikandungnya, apapun jenis kelaminnya.
Tetapi dia harus mengikuti kesepakatan karena posisinya sebagai perempuan
kedua. Sementara itu, bu Haji merasa bahwa sesuai dengan kesepakatan sebelum
pak Haji menikahi Seruni, pernikahan itu memang ditujukan untuk memiliki anak.
Meskipun dia bukan ibu dari anak yang dikandung oleh Seruni, dia merasa bahwa
anak itu adalah haknya. Sehingga keduanya pun dengan cukup terpaksa menerima
keputusan bahwa jika anak yang dikandung oleh Seruni adalah perempuan, hak asuh
diberikan kepada Seruni. Sementara itu, jika anak yang dilahirkan oleh Seruni
adalah laki-laki maka hak asuh diberikan kepada bu Haji.
Bu
Haji yang merasa senang dengan kehamilan Seruni pun memproteksi Seruni agar
kehamilannya tidak terjadi masalah. Akan tetapi, Seruni merasa digurui dan
dianggap tidak tahu apa-apa, sehingga resistensinya pun mulai ditunjukan dengan
beberapa penolakan terhadap perkataan dan tindakan bu Haji. Dia merasa tidak merdeka
pada tahap ini. Dia juga merasa kebersamaannya dengan pak Haji dibatasi oleh bu
Haji dibalik perhatian berlebihan yang diberikan oleh bu Haji. Seruni pun
mengeluhkan perasaannya tersebut pada pak Haji. Lagi-lagi pak Haji memenangkan
Seruni dihadapan bu Haji. Hingga akhirnya, bu Haji jatuh sakit karena kelelahan
dengan seluruh pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sendiri.
Waktunya
pun tiba, Seruni melahirkan. Bu haji mendampinginya dengan penuh perhatian,
tidak tampak seperti istri pertama kepada istri kedua tetapi lebih tampak
seperti ibu menunggui anaknya yang sedang melahirkan. Ternyata anaknya
perempuan, ini berarti bahwa hak asuh ada di tangan Seruni. Kebahagiaan bu Haji
pun meluruh. Di dalam keseharian, bu Haji tidak diperbolehkan menggendong si
bayi. Tapi setelah hal itu diceritakan oleh bu Haji kepada pak Haji, Lagi-lagi pak
Haji coba menghibur dan meminta bu Haji untuk memahami psikis Seruni yang baru
saja punya anak. Pak Haji juga meyakinkan bahwa suatu saat Seruni pasti akan
membutuhkan bantuan bu Haji. Sampai pada saat malam hari, bayi Seruni menangis
terus sementara Seruni tengah mengantuk berat, bu Haji menawarkan kepadanya
untuk menjaga anaknya dan memintanya untuk tetap istirahat karena tampak lelah
sekali. Seruni pun mengizinkan, kebahagiaan pun diperoleh oleh bu Haji.
“Tidak
ada manusia yang sempurna, bu.” Kata pak Haji. “Nggih, pak. Dan kita menerima
itu. Mengikhlaskan bapak menikah dengan seruni adalah pahala terindah buat
saya.” Jawab bu Haji.
Muryana
Di
Tengah Malam, 27 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar