JIHAD ISTRI DALAM MANAJEMEN KEUANGAN
KELUARGA
Muryana
...Konstruksi sosial
yang menempatkan pengelolaan konsumsi keluarga sebagai kewajiban perempuan,
membuat perempuan bungkam dan takut bersuara dalam persoalan ekonomi keluarga
yang dihadapinya...[1]
Tulisan ini adalah respon terhadap
tulisan yang ditulis oleh Leli Ruspita, “Keterasingan Perempuan dari
Pekerjaannya: Kemitraan Suami-Istri dalam Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga” dalam
Jurnal Perempuan edisi 74[2].
Tulisan yang bercerita tentang kuasa dan pembagian kerja suami istri dalam
perekonomian rumah tangga, merupakan sisi lain kekuatan perempuan atas
ketidakberdayaannya dalam relasi suami istri. Kekuataan itu tampak dari
strategi yang dilakukan perempuan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup keluarga.
Tulisan Leli Ruspita sebanyak 12
halaman itu disarikan dari Tesisnya yang berjudul “Relasi Kuasa Suami-Istri
Bekerja Berdasarkan Pengelolaan Penghasilan dan Pembagian Kerja, Studi Kasus
terhadap Suami-Istri Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Ketapang Propinsi
Kalimantan Barat” yang ditulis untuk Program Studi Kajian Wanita Program
Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta tahun 2008. Tulisan ini menunjukkan keterasingan
perempuan (istri) terhadap penghasilannya sendiri. Perempuan tidak bekerja
untuk aktualisasi dirinya, tetapi dia bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangganya. Oleh karenanya, ketika dia bekerja seringkali keperluan dan
kebutuhan diri menjadi prioritas kedua bahkan terakhir dari pembagian hasil
pendapatannya. Ada kecenderungan pada perempuan yang sudah menikah
menghitung gajinya untuk keperluan rumah tangga tanpa memikirkan keperluan
mereka pribadi. Mereka menganggap dengan terpenuhinya kebutuhan anggota
keluarga terutama konsumsi dan biaya pendidikan anak-anak berarti memenuhi
kebutuhan dirinya.[3]
Perempuan tampak tak berdaya dalam
kondisi tersebut, keluar dari rumah untuk mengatasi masalah rumah tangga, masuk
dalam masalah institusi pekerjaannya, dan kembali lagi pulang untuk masalah
rumah tangganya. Beban ganda (double burden) atau beban berlapislah yang
dihadapi oleh perempuan. Akan tetapi, kekuatan perempuan justru tampak jelas
sekali dalam hal ini. Kekuatan ini ada dan muncul di permukaan. Kekuatan itu
ada pada strategi yang digunakan perempuan untuk menyiasati keadaan. Keadaan ekonomi
global, kemisikinan sistemik, sistem kapitalisme pasar yang berdampak pada
ekonomi keluarganya. Hanya saja, kekuatan ini diungkap dan dimunculkan tidak
dimaksudkan untuk melanggengkan ketidakadilan gender secara terus-menerus.
Tetapi, justru bertujuan untuk membuka mata siapapun agar melihat secara nyata
keadaan yang sangat ironis ini. Di mana keberdayaan perempuan yang pada awalnya
dimaknai dengan kemandirian ekonomi perempuan (istri), ketidaktergantungan
ekonomi Istri terhadap suami, justru membawa masalah baru bagi perempuan, jika
perempuan tidak memiliki kekuatan yang setara untuk menegosiasikan dan
mengkomunikasikan hasrat dirinya. Dalam hal ini adalah untuk pengelolaan
konsumsi keluarga.
Kekuatan atas ketidakberdayaan
tersebut ada pada strategi “sendirinya” perempuan. Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata strategi memiliki beberapa arti, dua di antaranya adalah Ilmu
dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam perang, dalam
kondisi yang menguntungkan; dan rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk
mencapai sasaran khusus.[4] Kedua
arti ini dianggap kontektual dalam pengelolaan konsumsi keluarga, yaitu pada arti
pertama, strategi perempuan dalam manajemen keuangan rumah tangga diibaratkan
dalam kondisi perang, berjuang untuk menata dan mempertahankan hidup secara
bersungguh-sungguh (jihad) agar semua berjalan harmoni. Menurut Leli,
perempuan melakukan beberapa strategi, yaitu:
- Menekan atau meniadakan pengeluaran untuk diri sendiri. Perempuan menempatkan kebutuhannya di urutan terakhir dan lebih mengutamakan kebutuhan pokok dan anaknya.
- Mempergunakan jasa simpan pinjam, yaitu belanja dengan cara berhutang di awal bulan, kemudian dibayar di awal bulan berikutnya untuk menstabilkan keuangan keluarga.
- Menekan pengeluaran konsumsi keluarga untuk mengatasi krisis uang, seperti membeli bahan masakan yang lebih murah atau diolah sendiri. Proses ini diselesaikan oleh perempuan sendiri.
- Menekan pertumbuhan jumlah anggota keluarga, seperti mengugurkan kandungan menempuh cara yang tidak sehat dan berbahaya dengan alasan keuangan dan kondisi sosial yang tidak mungkin. Mereka menggugurkan kandungan dengan cara meminum obat peluntur terlambat bulan, aktivitas fisik yang berat bahkan sampai minum obat-obat keras. [5]
Strategi-strategi tersebut merupakan strategi-strategi yang
penuh resiko dan bukan tanpa resiko sama sekali. Manajemen keuangan yang
asumsinya adalah keberadaan asset dan property. Tapi, perempuan,
dalam arti strategi yang kedua, memiliki rencana yang cermat terhadap apa yang
sedikit dimilikinya dan dikelolanya dengan skala prioritas dan tujuan yang
diharapkannya harmoni. Hal itu dilakukan karena ingin mempertahankan citra
keluarga dengan bersedia susah payah secara tidak imbang menafkahi keluarga,
dan membiarkan suami tidak melaksanakan tanggung jawabnya, serta tidak
menginginkan perceraian anak-anak dibesarkan oleh orang tua yang utuh; dan
kemampuannya untuk bernegosiasi dengan suami adalah pada dengan cara bekerja
sebagai jalan keluar sendiri.[6] Harmoni
dimaknai sebagai kehidupan tanpa aib dengan meniadakan konflik secara terbuka. Konflik
dalam dirinya ditekan dengan harapan lebih konstruktif untuk keluarga. Oleh karena
itu, negosiasi yang dilakukan oleh istri terhadap suami pun bukan dalam konteks
equal partner tapi masih dalam konteks pola relasi perkawinan yang owner
property, head-complement dan senior-junior partner. Dalam hal
inilah, kekuatan perempuan bernegosiasi, berstrategi tampak sebagai upaya
mengatasi masalah rumah tangga, belum tampak sebagai upaya dalam konteks untuk
membangun kesadaran keadilan gender.
Walaupun demikian, realitas strategi perempuan (istri) dalam
manajemen keuangan keluarga merupakan kekuatan perempuan yang seharusnya
diakui. Strategi ini merupakan bagian dari jihad perempuan untuk
keluarga dan generasi penerus bangsa, dari dalam, dari lingkup keluarga. Bahwa
perempuan, tanpa harus bekerja di ruang publik, dia mampu melahirkan harmoni
rumah tangga, dia mampu mendidik generasi penerus bangsa, dia mampu membesarkan
nama suami dan keluarganya. Meskipun seharusnya, perempuan bisa memperoleh yang
lebih dari itu, lebih adil baginya, jika berkarya dalam keluarga dengan bekal
akses pengetahuan dan informasi yang diperoleh dari, partisipasi dalam, kontrol
terhadap dan manfaat dari ruang publik. Begitu juga, perempuan semakin berdaya
dengan kemampuan dan potensinya dari akses, kontrol, partisipasi dan manfaat di
ruang publik, untuk memperkuat keluarga dengan membangun pola relasi yang adil
dalam anggota keluarga.
Dengan demikian, konstruksi sosial yang menempatkan
pengelolaan konsumsi keluarga sebagai kewajiban perempuan perlu diubah dengan komunikasi
secara terbuka dengan suami sebagai equal partner. Perempuan tidak perlu
bungkam dan takut bersuara dalam persoalan ekonomi keluarga yang dihadapinya
karena ekonomi keluarga merupakan tanggung jawab bersama, dengan kuasa dan pembagian
peran suami-istri dalam keluarga. Sehingga streotipi pada perempuan yang tidak
mampu menjaga rahasia ekonomi keluarga dan mengatasi persoalan ekonomi
keluarganya, sebagai perempuan yang kurang baik pun dapat mulai diminimalisir. Oleh
karena itu, jihad perempuan dalam manajemen keuangan atau ekonomi
keluarga pun akan semakin adil jika dapat membangun komunikasi terbuka dan kesadaran
suami-istri untuk bermitra menjadi keluarga bahagia, harmonis dan sejahtera,
tanpa harus mencari penyelesaian sendiri.
Yogyakarta, 22 April 2013
Berkartini dari dan untuk Keluarga
[1]
Leli Ruspita, “Keterasingan Perempuan dari Pekerjaannya: Kemitraan Suami-Istri
dalam Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga”, Jurnal Perempuan, Vol. 17, No.
3, September 2012, 41.
[2] Ibid.
[3] Ibid.,
24.
[4]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
edisi keempat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1340.
[5]
Leli Ruspita, “Keterasingan Perempuan dari, 41.
[6] Ibid.,
39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar