The Real Religiousity dalam Hikmah di Balik Kematian Suami Seorang Perempuan Penjual Minuman
Muryana
Sore itu, 2 Mei 2013, seperti biasa
aku menyembut Tuan Putriku di sekolahnya. Kami bermain dulu sebelum pulang,
bercerita dan bercanda sambil menikmati jajan pembagian bunda karena ada salah
satu siswa PAUD yang berulang tahun. Selamat Ulang Tahun untuk siswa itu.
Seperti biasa, jika ada perempuan
penjual minuman, Lintang selalu minta untuk dibelikan. Ya, saya belikan satu
untuknya. Tapi, dia minta dua, “Satu untuk tante Rahmah,” katanya. OK, aku
belikan dua. Sebelum transaksi dilakukan, biasanya perempuan itu selalu menyapa
Lintang. Kali itu, dia bertanya pada Lintang, “kemana aja, kok lama tidak
kelihatan.” Saya balik bertanya padanya, “bukannya ibu yang lama tidak jualan?”
“Ya, saya habis keseripahan,” jawabnya. “Siapa yang meninggal,” tanya saya.
“Suami saya, bu...” jelasnya. “Innalillahi wa innaillaihi rajiuun...” tanggap
saya.
Kemudian dia bercerita bahwa baru
beberapa hari ini dia berani untuk keluar rumah, setelah beberapa hari tidak
beraktivitas. Dia hanya menangis terus dan tidak bisa tidur. Dia merasa
menyesal tidak dari awal memeriksakan suaminya ke dokter ketika wajah suaminya
merot setelah pulang dari Jakarta. Tapi, sesal itu coba dirasionalisasikan
olehnya dan menganggap itu sebagai realitas yang harus dihadapi.
Suaminya meninggal karena stroke.
Ketika suaminya dibawa ke rumah sakit, pembuluh darahnya sudah pecah. Dia masih
jualan ketika suaminya masuk di ruang UGD. Jadi, dia tidak mengetahui pada saat
terakhir suaminya ada.
Hari itu, dia sudah menawarkan kepada
suaminya untuk periksa ke dokter. Tapi, suaminya menolak. Suaminya pun masih
beraktivitas seperti biasa, main kartu remi, kongko-kongko di cakruk, makan
seperti biasa. Jadi, hari itu dia memutuskan untuk kembali berjualan dan
setelah suaminya juga menyuruhnya untuk tetap beraktivitas. Akan tetapi, baru
dua rumah yang dia datangi untuk menjual minuman, tiba-tiba dia ditelpon oleh
tetangganya. Dia diberitahu bahwa suaminya meninggal.
Perempuan yang dikaruniai anak tiga
ini, menikah dengan almarhum suaminya beberapa tahun lalu. Suaminya membawa dua
anak dan satu anak lainnya adalah anak kandungnya sendiri. Sehari-hari dia
berjualan keliling. Dia menjual minuman kesehatan, baik eceran maupun paketan.
Untuk menutup hari, dia berjualan di depan pintu gerbang sekolah dan pulang
dengan berapapun hasilnya. Suatu hari, dia mengeluhkan bahwa anaknya sakit
amandel, saya menyarankannya untuk diterapi pijat di Sambilegi, barangkali
jodoh dan sembuh. Hal itu dilakoninya, alhamdulillah anaknya sudah sembuh
dengan terapi itu.
Kadang-kadang, saya melihatnya
berjualan dengan menggunakan jilbab. Tapi, kadang-kadang saya juga melihatnya
dengan rambut terurai. Dia seringkali menggunakan jilban berwarna pink, mungkin
karena warna seragamnya berwarna merah dan putih, dan itu lebih sesuai dengan
kostum dinasnya. Ketika berjualan, dia juga membawa kedua anak laki-lakinya.
Motor di parkir di depan gerbang tanpa mencabut kuncinya dan anaknya dibiarkan
bermain di arena bermain sekolah, dia pun duduk sambil menawarkan pada orang
tua yang datang dan keluar dari sekolah dengan sangat ramah. Tapi, terkadang
hanya diamnya calon pembeli yang lalu lalang yang diperolehnya. Tapi terkadang
juga mendapatkan sambutan dari ibu-ibu dan bapak-bapak yang ramah, meski tidak
membeli produk minuman yang dijual. Tapi itu lebih membuatnya tersenyum
daripada yang diam saja. Tegar dan kuat dalam hidup, itulah yang saya lihat
dari sosok perempuan ini.
Ketegarannya itu pun tampak dari
pelajaran yang dia ceritakan pasca meninggalknya sang suami. Dia menceritakan
bahwa sebelum meninggalnya suami dia tidak pernah shalat, al Qur’an yang ada di
rumah pun tidak pernah dibaca. Tapi, setelah suaminya meninggal, dia menjadi
rajin shalat dan terus membaca yassin untuk suaminya. Setelah tiga hari
meninggalnya suami, dia baru mulai merasakan harus ikhlas untuk melepas
kepergian suaminya.
Sebelumnya, dia sangat menyesal. Dia
berpikir, andai saja dia tidak menyuruh suaminya bekerja di Jakarta, mungkin
kejadiannya tidak seperti ini. Andai saja, dia segera mengobatkan suaminya
setelah ada gejala merot di wajah suaminya, mungkin kejadiannya tidak akan
seperti ini. Tapi, perandaian-perandaian yang berorientasi masa lalu itu
dilawan dengan perandaian-perandaian yang berorientasi masa depan. Mungkin
jika, suami tetap terselamatkan dengan kondisi pembuluh darah yang pecah,
suaminya akan tetap hidup tak berdaya dan membutuhkan dirinya secara
terus-menerus. Selain itu, mungkin akan lebih banyak uang yang dibutuhkan untuk
perawatannya. Mungkin Tuhan mempunyai rencana lain, dengan penghasilan jualan
minuman produk jepang itu sangat tidak mungkin membiayai suaminya yang sakit
dalam jangka panjang. Oleh karena itu, keputusan Tuhan untuk mengambil suaminya
lebih baik untuk kehidupannya dalam pikirannya. Dengan itulah, dia bangkit. Dia
berpikir ada anak-anak yang harus diperjuangkan hidupnya. Ada anak-anak yang
membutuhkannya. Dengan demikian, dia memutuskan untuk berjualan kembali.
Di samping, pelajaran yang sangat
berharga yang dapat diraihnya adalah tentang anaknya. Biasanya, anaknya jika
acara yasinan selalu lari-lari, tapi pasca kematian ayahnya hal itu tidak
terjadi. Anak-anaknya diam dan mengikuti prosesi yasinan hingga akhir, bahkan
mengaminkan doa yang dibacakan. “Mungkin itu bekal untuk ayahnya, doa anak yang
sholeh. Katanya, bekal itu doa anak yang sholeh. Katanya, bekal untuk mati
orang tua itu amal zariyah. Katanya.” Jelasnya. Dia menekankan kata “katanya”
seolah, dia tidak mengerti apa-apa tentang agama. Padahal, cara pandangnya dan
caranya menghadapi realitas kematian suaminya adalah the real religiousity menurut
saya.
Menunggu
Hasil Lab. Di RS, 3 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar