Jumat, 14 Agustus 2009

Perpustakaan

Laku Batin Kejawen Umat Beragama
di Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) Yogyakarta
Muryana

Judul Buku : Orang Jawa Memaknai Agama
Penulis : M. Soehadha
Penerbit : Kreasi Wacana
Cetakan : Pertama, Agustus 2008
Tebal : xvi + 232 halaman

“Adapun mereka yang tetap percaya pada kepercayaannya (imannya) yang benar, yaitu mereka yang memegang teguh akan syahadat agama Islam atau agama Kristen; yang tetap bhaktinya kepada Allah menurut syarat-syarat yang ditentukan, serta mereka yang menaati perintah dan menjauhi larangan Allah, yang tersebut dalam kitab-kitab suni, itu tidak berarti rusak, oleh karena itu tidak perlu diperbaiki. Dengarkanlah wahai siswaku. Pelajarilah petunjuk-Ku ini dengan kemursidanmu, atau carilah saringan atau tangga tadi, di dalam Kitab Suci, yaitu yang disebut Injil dan “Qur’an”, mana yang kamu pilih, kedua-duanya sama saja, asal kamu rasakan dengan hati yang suci.” (Kitab Sasangka Jati)[1]

Bunyi salah satu isi dalam Kitab Sasangka Jati di atas menegaskan bahwa Pangestu bukan agama atau aliran kebathinan yang mendirikan agama baru. Pangestu adalah sebuah organisasi yang lahir berdasarkan “Sabda Tuhan” melalui seorang “siswa-Nya”, yaitu Soenarto Mertowardojo.[2] Tujuannya adalah menghimpun orang-orang yang ingin mengolah aspek kejiwaan semata. Pengolahan jiwa dengan menganut ajaran Sang Guru Sejati, Soenarto. Ajaran tersebut dihimpun dalam kitab Sasangka Jati dan buku-buku wajib lainnya dan menjadi landasan serta berfungsi sebagai sumber gerakan Pangestu sebagai kancah pendidikan pengolahan jiwa.[3] Oleh karena itu, Pangestu disebut sebagai “Fakultas Psikologis” oleh pakde Narto dan tidak seperti gerakan-gerakan kebathinan lainnya yang menegaskan sebagai aliran kepercayaan.
Pengolahan jiwa dalam Pangestu merupakan sebuah bentuk dari mistisisme. Menurut sejarah, praktik mistisisme berkembang di Indonesia sejak abad ke-20 dan berkembang pesat semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 (Woodward, 1999: 347). Mistisisme merupakan satu pengalaman keagamaan tertentu yang ditunjukkan oleh adanya kondisi psikologis yang berhubungan dengan ciri-ciri tertentu, di mana simbol-simbol indrawi dan pengertian-pengertian dari pemikiran abstrak seolah-olah terhapuskan. Masyarakat Jawa lazim menyebutnya sebagai laku bathin.[4]
Laku bathin tersebut dapat diketahui dengan menelusuri lorong-lorong pikiran dan perasaan para penganut paham keagamaan secara keseluruhan. Yaitu, dengan pemahaman tentang pengalaman dekat (experience-near), pemahaman tentang batin manusia,[5] terhadap ritual yang dilakukan secara individu atau kelompok. Dalam Pangestu laku bathin ini ditumpukan pada wilayah bathin manusia melalui sistem ritual (praktik) mistisisme yang dilakukan oleh para pengikutnya. Oleh karena itu, Pangestu tidak begitu mempersoalkan syari’at atau gerak panembah,[6] tetapi lebih pada rasa.
Pangestu yang lahir oleh orang Jawa dan berkembang pesat di Jawa, terutama Yogyakarta ini, sebagian besar pengikutnya adalah orang Jawa. Orang-orang Jawa yang telah memeluk salah satu dari agama-agama besar di Indonesia, meskipun ada juga yang tidak memeluk agama tertentu. Sehingga doktrin yang berlaku dalam Pangestu pun merupakan doktrin yang merupakan penyatuan doktrin agama Islam dan Kristen dengan prinsip-prinsip budaya Jawa. Hal inilah yang menunjukkan sinkretisme orang Jawa dalam Pangestu yang sekaligus menunjukkan sifat ambigu orang Jawa. Ambigu yang berarti mengambil jalan tengah dan sekaligus penyatuan (sinkretis).[7] Di samping itu, juga menjadi suatu bentuk kearifan lokal orang Jawa yang memandang segala sesuatu secara utuh (holistik).
Orang Jawa yang bergabung dalam Pangestu adalah orang yang belum puas terhadap praktek beragama mereka, salah satunya karena mereka kurang memahami ajaran agamanya. Sehingga ajaran Pangestu dijadikan sebagai “referensi” untuk memahami ajaran agama, terutama Islam dan Kristen karena mayoritas anggotanya adalah pemeluk agama tersebut. Kedua, setelah masuk Pangestu mereka mendapatkan kepuasan bathin dalam beragama karena kebebasan yang diberikan Pangestu dalam panembah, tanpa terikat oleh syari’at tertentu, dan bebas menggunakan bahasa apapun sehingga sesuai dengan kemantapan hatinya.[8]
Dengan demikian, laku bathin kejawen dalam Pangestu dianggap sebagai jalan yang dapat memberikan penjelasan sekaligus pemecahan terhadap persoalan kehidupan pengikutnya. Selain itu, juga menjadi “referensi” dalam memahami agama sehingga dapat mencapai jalan untuk menyatu dengan Tuhan (manunggal ing kawula-gusti).[9] Hal inilah yang tidak ditemukan para pengikut Pangestu dalam agama besar yang mereka anut, bahkan setelah mereka mencari jawaban dari tokoh agama mereka. Mereka tetap merasa bahwa ajaran yang diperoleh dari tokoh agama mereka tidak menyentuh rasa dan tidak dapat memberikan jawaban bagi persoalan kehidupan mereka. Keseimbangan antara tindakan beragama dan menjalani kehidupanlah yang mereka perlukan dan dapatkan dari Pangestu. Ritual yang berelasi dengan kehidupan.
Untuk itu, buku hasil penelitian M. Soehadha ini memberikan gambaran tentang pertumbuhan dan perkembangan laku bathin kejawen umat beragama melalui kekayaan berbagai teori dan data yang disajikan. Beberapa teori mistisisme dan gerakan yang digunakan untuk menganalisis data lapangan yang sangat kaya, menjadikan buku ini lebih menarik. Oleh karena itu, buku ini menjadi wajib dibaca bagi para peneliti yang concern pada gerakan kebathinan, terutama gerakan-gerakan yang berada di Jawa.
Selain itu, penelitian terhadap Pangestu ini juga menegaskan akan krisis spiritual manusia modern, khususnya orang Jawa dalam beragama. Sekaligus buku ini juga menjadi kritik bagi implementasi agama. Khususnya, bagi metode dakwah dan misi yang kurang menyentuh pada aspek bathin dan hakikat dari ajaran agama tersebut.[10] Oleh karena itu, buku ini juga sangat dianjurkan bagi para tokoh agama untuk mereformulasi metode dakwah dan misi sesuai dengan kebutuhan umat di abad modern ini.
Pada akhirnya, buku hasil penelitian terhadap Pangestu Sleman dan Kota Yogyakarta ini,[11] juga menjadi perenungan bagi para pengikut Pangestu dan umat beragama untuk menghindari fanatisme dalam mengimplementasikan ajarannya. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari radikalisme beragama yang justru menyebabkan terjadinya konflik ataupun munculnya agama-agama baru. Oleh karena itu, buku ini juga menjadi bacaan yang sangat dianjurkan bagi para sesepuh gerakan kebathinan dan pengikutnya. Khususnya Pangestu, untuk dapat lebih mengetahui motivasi berdirinya organisasi mereka dan tetap pada jalannya, serta meluruskan siswa-siswanya yang kebablasan (miyur).

[1] Dikutip dari De Jong, 1976: 72) dalam M. Soehadha, Orang Jawa Memaknai Agama (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), hlm. 24.
[2] Ibid., hlm. 75.
[3] M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 76-77.
[4] Ibid., hlm. 3.
[5] Ibid., hlm. 1.
[6] Panembah adalah sembahyang, pemujaan terhadap Tripurusa (Tuhan) yang dilaksanakan berdasarkan doktrin Pangestu. M. Soehadha, Orang Jawa…, hlm. 155.
[7] Ibid., hlm. 19.
[8] M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 145.
[9] Ibid., hlm. 11.
[10] M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 153.
[11] Ibid., hlm. 26.

Resensi ini telah diterbitkan dalam jurnal Religi vol.VI, No.1, Januari 2007