Selasa, 12 Februari 2008

Jogjakarta

Jogja dan Mahasiswa

Hari ini, SKH Kompas (17/1/08) mencantumkan headline pada rubric Jogja bahwa Semua Mahasiswa Warga Jogja. Seruan itu ditujukan Sultan kepada seluruh mahasiswa di Jogjakarta untuk menghormati budaya lokal di daerah istimewa ini. Dengan begitu, diharapkan mahasiswa ikut andil untuk mendukung program pariwisata yang sedang digalakkan tahun ini di seluruh Indonesia.
Mahasiswa diminta ikut terlibat dalam melaksanakan program tersebut sehingga pengakuan terhadap kewargaan mahasiswa dari luar daerah pun diberikan. Itu ditujukan agar keuntungan berpihak pada Jogjakarta. Lalu, bagaimana pengakuan terhadap kewargaan semua mahasiswa dalam hal konversi minyak tanah ke gas? Manakah suara Sultan? Apakah itu disebabkan oleh masih banyaknya angka kemiskinan di Jogjakarta sehingga warga yang berarti local people harus didahulukan? Atau mungkin program pemerintah, dalam hal ini konversi minyak ke gas memang belum jelas? Di mana suara Sultan? Nyaris tak terdengar, kata iklan salah satu merek mobil. Atau sebenarnya Sultan pun mengatakan dan meneriakkannya tapi dengan suara yang lirih karena dalam ruang rapat, sehingga media pun tak dapat meliputnya. Akhirnya, warga Jogja pun tak dapat mendengarnya.
Mengapa ketika “Gigi” konser, Sultan juga berteriak dengan lantang agar apresiasi terhadap musik yang dibawakan tidak menimbulkan keributan dalam salah satu acara infotainment. Begitu pula ketika budaya lokal tidak dihormati Sultan pun menegaskan untuk tidak rebut. Intinya adalah harmonis. Lalu bagaimana dengan kasus konversi minyak ke gas? Apakah rakyat Jogja juga harus tetap harmonis dengan distribusi yang tidak merata? Bisa jadi demikian ketika pembagian bantuan Gempa DIY&JATENG 2006. Rakyat diminta untuk damai. Hal ini sangatlah sesuai dengan teori dan pendapat yang menyatakan tentang prinsip hidup orang Jawa adalah Rukun.
Lalu bagaimana dengan mahasiswa? Apakah juga harus beradaptasi dengan prinsip tersebut untuk menyikapi kasus konversi minyak ke gas? Sementara, tidak ada keberpihakan bagi mereka. Mereka yang harus masak untuk hidup prihatin di tanah rantau dengan hasil kiriman orang tua, memanage uang dan meminimalisir pengeluaran untuk makan demi membeli buku. Apalagi bagi yang bekerja dengan penghasilan pas-pasan dan tidak mendapat kiriman orang tua. Bagaimana dengan mahasiswa-mahasiswa itu? Kenapa Sultan tidak meneriakkan pengakuan itu dalam hal yang lebih signifikan bagi warganya? Kenapa teriakan itu hanya dikhususkan pada event-event dan fenomena-fenomena yang secara nyata menambah masukan APBD saja? Sementara mahasiswa-mahasiswa dan rakyat miskin kota tidak diacuhkan. Ya..karena mahasiswa dianggap mampu dan kayak karena mendapat kiriman dari orang tua sehingga tidak perlu perhatian dan bantuan dari pemerintah di tanah rantau. Semoga demikian wahai mahasiswa. (Yasmine, 17 Januari 2008)

Indonesia

Demonstrasi vis a vis Demokrasi

Menanggapi tajuk rencana Kompas pada hari Senin 2 April 2007 yang berjudul Gejala Perlu Dicermati yang menyatakan bahwa saat ini banyak terjadi demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia, unjuk rasa. Apakah hal tersebut bisa dikatakan sebagai indikator terlaksananya sistem pemerintahan yang demokratis di Indonesia?
Memang benar jika saat ini dikatakan bahwa telah terjadi gejolak di berbagai daerah yang ditujukkan dengan unjuk rasa. Akan tetapi, hal tersebut terjadi karena kemiskinan bahkan kelaparan. Rakyat melakukan demonstrasi tidak berdasarkan kesadarannya tetapi lebih berdasarkan kebutuhannya untuk hidup. Apakah itu yang disebut demonstrasi yang dikategorikan sebagai indikator demokrasi? Walaupun hal tersebut bisa dikatakan sebagai keberhasilan gerakan mahasiswa dan civil society dalam penyadaran rakyat Indonesia terhadap sistem pemerintahan yang sedang berlangsung saat ini. Rakyat diajarkan untuk berunjuk rasa dan demontrasi untuk menuntut haknya. Rakyat diajarkan bernegosiasi untuk memperoleh haknya. Semua itu agar rakyat memperoleh kehidupan yang layak dengan terpenuhinya kebutuhan hidup. Oleh karena itu, rakyat di seluruh bagian Indonesia bergejolak, berunjuk rasa untuk menuntut haknya. Seolah-olah unjuk rasa hanya bagi rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan, rakyat yang mapan hanya menonton mereka dari layar kaca TV di istana masing-masing. Mereka hanya merespon dengan rasa tepo seliro dan rasa kesedihan mereka sebagai sesama manusia yang tidak tega melihat pertengkaran, perkelahian yang menyebabkan luka bahkan korban jiwa. Bahkan, ada juga yang hanya merespon dengan senyum kecil dan dengan sedikit kebanggaan telah mampu membuat rakyat bergerak. Atau bahkan, ada yang tertawa terbahak-bahak karena permainan yang mereka ciptakan telah berhasil dan digemari banyak orang, termasuk mahasiswa dan rakyat.
Oleh karena itu, hal tersebut akan hilang begitu saja jika rakyat hanya diajarkan untuk menuntut haknya dengan unjuk rasa dan demonstrasi tanpa pendidikan politik. Rakyat juga membutuhkan pendidikan politik agar mereka memiliki bergainning position dalam menuntut haknya. Bahkan pendidikan politik yang diberikan bukan hanya untuk memperoleh haknya, tetapi untuk mengetahui dan menjadi kontrol atas pemerintahan yang sedang berlangsung. Dengan demikian, rakyat akan menjadi kritis akan kondisi dan situasi pemerintahan yang sedang berjalan meskipun mereka telah berada dalam kemapanan. Dengan begitu, kemapanan tidak menjadi target utama dalam demonstrasi dan unjuk rasa yang dilakukan. Kemapanan hanyalah alat yang justru membuat dan mendidik mereka untuk semakin kritis dan peka terhadap ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam pemerintahan, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat ataupun negara. Oleh karena itu, kemiskinan tidaklah tepat sebagai faktor utama yang dijadikan alasan untuk berdemonstrasi dan berunjuk rasa tetapi kesadaran akan kondisi dan situasi bangsa inilah yang seharusnya menjadi indikator menuju demokrasi. Demonstrasi hanyalah menjadi salah satu bagian dari terwujudnya indikator kesadaran berdemokrasi. Dengan demikian, pendidikan politik bagi rakyat akan lebih tepat jika diarahkan untuk membangun kesadaran, tidak hanya gontok-gontokan yang mengandalkan kekuatan fisik. Pembangunan kesadaran politik dengan menggunakan potensi mereka sebagai manusialah yang lebih tepat dilakukan sehingga mereka dapat melakukan diplomasi dengan etika politik yang telah mereka pelajari. (Label, 2 April 2007)

Selasa, 05 Februari 2008

Perpustakaan

Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial: Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007)

Buku ini mengkomparasikan antara konsep pendidikan yang dibangun oleh Paulo Freire dan romo Mangun dengan menggunakan pendekatan Deskriptif-Analitis. Komparasi tersebut diawali dengan menjelaskan tentang titik berangkat masing-masing tokoh, metode hingga tujuan pendidikan yang dikonsepkan. Titik berangkat dijelaskan untuk mengungkapkan realitas yang dihadapi dan dicarikan solusinya. Konsep pendidikan kedua tokoh tersebut merupakan konsep yang dianggap relevan hingga saat ini. Hal itu disebabkan oleh relevansi konsep pendidikan tersebut yang dapat membawa Indonesia keluar dari hiruk-pikuk permasalan bangsa, terutama masalah pendidikan. Walaupun tidak begitu senyatanya, karena banyak komunitas yang telah menerapkan konsep tersebut tetapi tetap saja tidak bisa keluar dari masalah pendidikan. Hal itu terjadi karena target yang ingin dicapai tidak diiringi dengan metode yang sesuai. Oleh karena itu, tujuan yang baik harus diwujudkan dengan metode yang baik pula. Tujuan pembebasan tidak terpisah dari jalan yang membebaskan, karena keliru apabila seseorang belajar teori kebebasan dan demokrasi, lalu menerapkannya tanpa dibarengi oleh latihan (Firdaus M. Yunus: 2007, 126).

Senin, 04 Februari 2008

Indonesia

Antara Minyak Tanah, Gas, Kayu dan Hutan

Minyak tanah dikurangi lagi pasokannya karena pemerintah ingin menyukseskan program konversi ke Gas. Isu itulah yang berkembang di masyarakat karena kelangkaan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut pun menyebabkan penimbunan minyak tanah bagi masyarakat yang tidak atau belum mendapat jatah konversi. Begitu juga, dengan warga yang telah memperoleh jatah pembagian kompor dan gas dari pemerintah tetapi tidak siap untuk melaksanakannya. Tidak siap melaksanakannya dalam arti mereka tidak bisa menggunakan/mengopersionalkan kompor gas yang telah diberikan. Atau mereka bisa mengoperasionalkan tetapi merasa ‘sayang’ menggunakannya karena harga gas mahal. Mereka tidak bisa membeli gas karena pendapatan keluarga sifatnya harian. Jadi, mereka tidak mampu membeli dengan harga minimal 13 ribu rupiah. Mereka hanya bisa membeli bahan bakar dengan cara mencicil. Akhirnya, mereka pun tetap menggunakan minyak tanah. Apalagi, media selalu mengembar-emborkan bahwa harga gas akan naik. Nah, semakin gencar pula mereka menjadi spikulan.
Lalu, sebagian masyarakat beralih untuk menggunakan kayu bakar. Apalagi bagi mereka yang selama ini telah dan masih menggunakan kayu bakar. Sehingga permintaan akan kayu bakar pun meningkat. Ini adalah sebuah alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas, kembali ke alam. Kayu bakar yang diperoleh di hutan dari ranting-ranting pohon kering yang telah berguguran dan tumbang pun dapat dimanfaatkan kembali. Kayu bakar yang selama ini disisihkan karena modernitas alat-alat rumah tangga diacuhkan dan ditengok lagi. Sungguh menarik dan mengharukan, tetapi akan sebaliknya jika proses alam dilanggar.
Bayangkan, jika pencari kayu bakar yang pada awalnya bersifat sekedarnya dan bergantung pada alam kemudian berubah. Mereka berubah dengan kepentingannya, memanfaatkan moment saat ini untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Apa yang akan terjadi?
Kebiasaan yang mereka lakukan pun akan ditingkatkan. Mereka tidak lagi ‘luru’ dalam bahasa Jawa, yang berarti mengambil kayu-kayu yang jatuh dan tumbang seiring proses alam, tetapi justru menjadi pembuat kayu bakar. Itu berarti mereka pun tak akan segan-segan lagi menebang pohon-pohon di hutan, tidak hanya dijadikan bahan bakar rumah tangganya tetapi bahan bakar untuk dijual. Untung besar pun diperoleh.
Lalu bagaimana dengan nasib hutan? Hutan pun menjadi gundul karena nafsu, keserakahan bahkan keberingasan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya, menebang pohon-pohon di hutan. Apalagi jika tidak diimbangi dengan reboisasi atau penanaman kembali. Dan yang terjadi hutan pun gundul, bila hujan turun, tanah menjadi longsor dan banjir badang pun dapat terjadi, menggenangi seluruh permukaan bumi Indonesia ini. Belum lagi, efek rumah kaca pun akan semakin besar karena tidak ada lagi penyeimbang pembakaran yang terjadi akibat bahan bakar dan kayu bakar. Dengan demikian, pemanasan global pun tak terelakkan bahkan telah terjadi saat ini. Akan tetapi, hal tersebut tidak akan terjadi dan dapat ditanggulangi serta direduksi/minimalisir jika pencari kayu bakar tetap menjalani ritual alam. Begitu juga dengan, pemerintah dengan kebijakannya dan rakyat Indonesia dengan suara-suaranya. (Mury, 15 Januari 2008)