Senin, 22 April 2013

Refleksi Hari Kartini



JIHAD ISTRI DALAM MANAJEMEN KEUANGAN KELUARGA

Muryana



...Konstruksi sosial yang menempatkan pengelolaan konsumsi keluarga sebagai kewajiban perempuan, membuat perempuan bungkam dan takut bersuara dalam persoalan ekonomi keluarga yang dihadapinya...[1]



Tulisan ini adalah respon terhadap tulisan yang ditulis oleh Leli Ruspita, “Keterasingan Perempuan dari Pekerjaannya: Kemitraan Suami-Istri dalam Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga” dalam Jurnal Perempuan edisi 74[2]. Tulisan yang bercerita tentang kuasa dan pembagian kerja suami istri dalam perekonomian rumah tangga, merupakan sisi lain kekuatan perempuan atas ketidakberdayaannya dalam relasi suami istri. Kekuataan itu tampak dari strategi yang dilakukan perempuan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup keluarga.

Tulisan Leli Ruspita sebanyak 12 halaman itu disarikan dari Tesisnya yang berjudul “Relasi Kuasa Suami-Istri Bekerja Berdasarkan Pengelolaan Penghasilan dan Pembagian Kerja, Studi Kasus terhadap Suami-Istri Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan Barat” yang ditulis untuk Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta tahun 2008. Tulisan ini menunjukkan keterasingan perempuan (istri) terhadap penghasilannya sendiri. Perempuan tidak bekerja untuk aktualisasi dirinya, tetapi dia bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Oleh karenanya, ketika dia bekerja seringkali keperluan dan kebutuhan diri menjadi prioritas kedua bahkan terakhir dari pembagian hasil pendapatannya. Ada kecenderungan pada perempuan yang sudah menikah menghitung gajinya untuk keperluan rumah tangga tanpa memikirkan keperluan mereka pribadi. Mereka menganggap dengan terpenuhinya kebutuhan anggota keluarga terutama konsumsi dan biaya pendidikan anak-anak berarti memenuhi kebutuhan dirinya.[3]

Perempuan tampak tak berdaya dalam kondisi tersebut, keluar dari rumah untuk mengatasi masalah rumah tangga, masuk dalam masalah institusi pekerjaannya, dan kembali lagi pulang untuk masalah rumah tangganya. Beban ganda (double burden) atau beban berlapislah yang dihadapi oleh perempuan. Akan tetapi, kekuatan perempuan justru tampak jelas sekali dalam hal ini. Kekuatan ini ada dan muncul di permukaan. Kekuatan itu ada pada strategi yang digunakan perempuan untuk menyiasati keadaan. Keadaan ekonomi global, kemisikinan sistemik, sistem kapitalisme pasar yang berdampak pada ekonomi keluarganya. Hanya saja, kekuatan ini diungkap dan dimunculkan tidak dimaksudkan untuk melanggengkan ketidakadilan gender secara terus-menerus. Tetapi, justru bertujuan untuk membuka mata siapapun agar melihat secara nyata keadaan yang sangat ironis ini. Di mana keberdayaan perempuan yang pada awalnya dimaknai dengan kemandirian ekonomi perempuan (istri), ketidaktergantungan ekonomi Istri terhadap suami, justru membawa masalah baru bagi perempuan, jika perempuan tidak memiliki kekuatan yang setara untuk menegosiasikan dan mengkomunikasikan hasrat dirinya. Dalam hal ini adalah untuk pengelolaan konsumsi keluarga.

Kekuatan atas ketidakberdayaan tersebut ada pada strategi “sendirinya” perempuan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata strategi memiliki beberapa arti, dua di antaranya adalah Ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam perang, dalam kondisi yang menguntungkan; dan rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.[4] Kedua arti ini dianggap kontektual dalam pengelolaan konsumsi keluarga, yaitu pada arti pertama, strategi perempuan dalam manajemen keuangan rumah tangga diibaratkan dalam kondisi perang, berjuang untuk menata dan mempertahankan hidup secara bersungguh-sungguh (jihad) agar semua berjalan harmoni. Menurut Leli, perempuan melakukan beberapa strategi, yaitu:
  1. Menekan atau meniadakan pengeluaran untuk diri sendiri. Perempuan menempatkan kebutuhannya di urutan terakhir dan lebih mengutamakan kebutuhan pokok dan anaknya.
  1.  Mempergunakan jasa simpan pinjam, yaitu belanja dengan cara berhutang di awal bulan, kemudian dibayar di awal bulan berikutnya untuk menstabilkan keuangan keluarga.
  1. Menekan pengeluaran konsumsi keluarga untuk mengatasi krisis uang, seperti membeli bahan masakan yang lebih murah atau diolah sendiri. Proses ini diselesaikan oleh perempuan sendiri.
  1. Menekan pertumbuhan jumlah anggota keluarga, seperti mengugurkan kandungan menempuh cara yang tidak sehat dan berbahaya dengan alasan keuangan dan kondisi sosial yang tidak mungkin. Mereka menggugurkan kandungan dengan cara meminum obat peluntur terlambat bulan, aktivitas fisik yang berat bahkan sampai minum obat-obat keras. [5]
Strategi-strategi tersebut merupakan strategi-strategi yang penuh resiko dan bukan tanpa resiko sama sekali. Manajemen keuangan yang asumsinya adalah keberadaan asset dan property. Tapi, perempuan, dalam arti strategi yang kedua, memiliki rencana yang cermat terhadap apa yang sedikit dimilikinya dan dikelolanya dengan skala prioritas dan tujuan yang diharapkannya harmoni. Hal itu dilakukan karena ingin mempertahankan citra keluarga dengan bersedia susah payah secara tidak imbang menafkahi keluarga, dan membiarkan suami tidak melaksanakan tanggung jawabnya, serta tidak menginginkan perceraian anak-anak dibesarkan oleh orang tua yang utuh; dan kemampuannya untuk bernegosiasi dengan suami adalah pada dengan cara bekerja sebagai jalan keluar sendiri.[6] Harmoni dimaknai sebagai kehidupan tanpa aib dengan meniadakan konflik secara terbuka. Konflik dalam dirinya ditekan dengan harapan lebih konstruktif untuk keluarga. Oleh karena itu, negosiasi yang dilakukan oleh istri terhadap suami pun bukan dalam konteks equal partner tapi masih dalam konteks pola relasi perkawinan yang owner property, head-complement dan senior-junior partner. Dalam hal inilah, kekuatan perempuan bernegosiasi, berstrategi tampak sebagai upaya mengatasi masalah rumah tangga, belum tampak sebagai upaya dalam konteks untuk membangun kesadaran keadilan gender.

Walaupun demikian, realitas strategi perempuan (istri) dalam manajemen keuangan keluarga merupakan kekuatan perempuan yang seharusnya diakui. Strategi ini merupakan bagian dari jihad perempuan untuk keluarga dan generasi penerus bangsa, dari dalam, dari lingkup keluarga. Bahwa perempuan, tanpa harus bekerja di ruang publik, dia mampu melahirkan harmoni rumah tangga, dia mampu mendidik generasi penerus bangsa, dia mampu membesarkan nama suami dan keluarganya. Meskipun seharusnya, perempuan bisa memperoleh yang lebih dari itu, lebih adil baginya, jika berkarya dalam keluarga dengan bekal akses pengetahuan dan informasi yang diperoleh dari, partisipasi dalam, kontrol terhadap dan manfaat dari ruang publik. Begitu juga, perempuan semakin berdaya dengan kemampuan dan potensinya dari akses, kontrol, partisipasi dan manfaat di ruang publik, untuk memperkuat keluarga dengan membangun pola relasi yang adil dalam anggota keluarga.

Dengan demikian, konstruksi sosial yang menempatkan pengelolaan konsumsi keluarga sebagai kewajiban perempuan perlu diubah dengan komunikasi secara terbuka dengan suami sebagai equal partner. Perempuan tidak perlu bungkam dan takut bersuara dalam persoalan ekonomi keluarga yang dihadapinya karena ekonomi keluarga merupakan tanggung jawab bersama, dengan kuasa dan pembagian peran suami-istri dalam keluarga. Sehingga streotipi pada perempuan yang tidak mampu menjaga rahasia ekonomi keluarga dan mengatasi persoalan ekonomi keluarganya, sebagai perempuan yang kurang baik pun dapat mulai diminimalisir. Oleh karena itu, jihad perempuan dalam manajemen keuangan atau ekonomi keluarga pun akan semakin adil jika dapat membangun komunikasi terbuka dan kesadaran suami-istri untuk bermitra menjadi keluarga bahagia, harmonis dan sejahtera, tanpa harus mencari penyelesaian sendiri.  



Yogyakarta, 22 April 2013
Berkartini dari dan untuk Keluarga



[1] Leli Ruspita, “Keterasingan Perempuan dari Pekerjaannya: Kemitraan Suami-Istri dalam Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga”, Jurnal Perempuan, Vol. 17, No. 3, September 2012, 41.
[2] Ibid.
[3] Ibid., 24.
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1340.
[5] Leli Ruspita, “Keterasingan Perempuan dari, 41.
[6] Ibid., 39.

Rabu, 17 April 2013

Resensi Film



Power dalam Seruni untuk Pak Haji

Seruni untuk pak haji adalah sebuah kisah keluarga poligami di suatu desa yang subur dan pertanian sebagai mata pencaharian utamanya. Pak haji adalah salah satu orang terpandang yang sejahtera dan mapan secara ekonomi. Pak haji dan istrinya adalah pasangan yang telah berusia lanjut dan belum dikaruniai seorang anak pun. Oleh karena itu, mereka berencana menyalurkan sebagian hartanya untuk membangun sebuah masjid.
Pada mulanya, Seruni diangkat sebagai anak bapak dan ibu haji. Tetapi dia justru menjadi istri kedua pak haji kemudian. Ibu haji ingin mempunyai keturunan padahal dirinya tidak dapat memberikan keturunan. Untuk itulah, bu haji mengizinkan pak haji untuk menikahi Seruni. Akan tetapi, bapak dan ibu Haji membuat kesepakatan bahwa anak pertama akan dipelihara oleh bu Haji sebelum pak Haji menikahi Seruni.
Bu Haji sebagai perempuan pertama di rumah pak Haji tampak cemburu kepada Seruni. Dia mengekspresikan rasanya dengan memberlakukan banyak peraturan kepada pak Haji, dan Seruni pada khususnya. Sehingga Seruni pun merasa diatur dan dipaksa oleh bu Haji. Hal ini menimbulkan dorongan pada diri Seruni untuk menuntut pada pak Haji. Konflik Keluarga Poligami pun dimulai pada tahap ini.
Seruni yang masih sangat muda dan cantik pun mulai meminta pembelaan pak Haji. Dia menceritakan setiap perbuatan bu Haji padanya sehingga mendorong pak Haji untuk membelanya. Sementara bu Haji yang mulai kehilangan powernya karena secara fisik lebih tua pun mempertahankan dirinya dengan secara tegas dan cukup kaku memberlakukan kesepakatan awal dan perjanjian antara pak Haji dengannya. Akan tetapi, hal ini tidak dapat diterima oleh Seruni dengan dalih bahwa dia tidak terlibat dalam kesepakatan tersebut. Pada tahap inilah Seruni mulai menggunakan powernya sebagai perempuan kedua di rumah pak Haji. Apalagi setelah Seruni berhasil hamil.
Seruni sebagai perempuan kedua mulai merajalela karena merasa diperalat oleh bu Haji, sebagai perempuan pertama. Perdebatan sengit pertama adalah tentang hak asuh terhadap anak yang dikandung oleh Seruni. Mereka memperebutkan status ibu, jika anak yang dikandung Seruni dipelihara oleh bu Haji kelak. “Siapa yang disebut ibu?”tanya Seruni. Pada tahap ini, kesepakatan tentang pengasuhan anak pun antar pak Haji dan bu Haji pun secara perlahan-lahan mulai dilanggar. Pak Haji selalu meminta agar bu Haji sebagai istri pertama mengerti psikis istri kedua. Padahal sebelum pernikahan dilakukan, pak Haji telah sepakat bahwa anak pertama akan diasuh oleh bu Haji. Begitu juga terhadap Seruni, pak Haji juga memahamkan kepadanya bahwa bu Haji tidak sekaku yang dia kira.
Akhirnya, pak Haji pun mencoba untuk membuat kesepakatan ulang dengan keduanya. Di sinilah power pak Haji mulai ditampakkan. Meskipun pak Haji menempatkan diri sebagai penengah di antara keduanya, tetapi nampak sekali bahwa powernya sebagai laki-laki harus diterima oleh keduanya. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menolak opsi yang diberikan oleh pak Haji, karena memang posisi keduanya harus berbagi dalam keadaan tersebut. Di satu sisi, Seruni merasa bahwa dia adalah ibu dari bayi yang dikandungnya, apapun jenis kelaminnya. Tetapi dia harus mengikuti kesepakatan karena posisinya sebagai perempuan kedua. Sementara itu, bu Haji merasa bahwa sesuai dengan kesepakatan sebelum pak Haji menikahi Seruni, pernikahan itu memang ditujukan untuk memiliki anak. Meskipun dia bukan ibu dari anak yang dikandung oleh Seruni, dia merasa bahwa anak itu adalah haknya. Sehingga keduanya pun dengan cukup terpaksa menerima keputusan bahwa jika anak yang dikandung oleh Seruni adalah perempuan, hak asuh diberikan kepada Seruni. Sementara itu, jika anak yang dilahirkan oleh Seruni adalah laki-laki maka hak asuh diberikan kepada bu Haji.
Bu Haji yang merasa senang dengan kehamilan Seruni pun memproteksi Seruni agar kehamilannya tidak terjadi masalah. Akan tetapi, Seruni merasa digurui dan dianggap tidak tahu apa-apa, sehingga resistensinya pun mulai ditunjukan dengan beberapa penolakan terhadap perkataan dan tindakan bu Haji. Dia merasa tidak merdeka pada tahap ini. Dia juga merasa kebersamaannya dengan pak Haji dibatasi oleh bu Haji dibalik perhatian berlebihan yang diberikan oleh bu Haji. Seruni pun mengeluhkan perasaannya tersebut pada pak Haji. Lagi-lagi pak Haji memenangkan Seruni dihadapan bu Haji. Hingga akhirnya, bu Haji jatuh sakit karena kelelahan dengan seluruh pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sendiri.
Waktunya pun tiba, Seruni melahirkan. Bu haji mendampinginya dengan penuh perhatian, tidak tampak seperti istri pertama kepada istri kedua tetapi lebih tampak seperti ibu menunggui anaknya yang sedang melahirkan. Ternyata anaknya perempuan, ini berarti bahwa hak asuh ada di tangan Seruni. Kebahagiaan bu Haji pun meluruh. Di dalam keseharian, bu Haji tidak diperbolehkan menggendong si bayi. Tapi setelah hal itu diceritakan oleh bu Haji kepada pak Haji, Lagi-lagi pak Haji coba menghibur dan meminta bu Haji untuk memahami psikis Seruni yang baru saja punya anak. Pak Haji juga meyakinkan bahwa suatu saat Seruni pasti akan membutuhkan bantuan bu Haji. Sampai pada saat malam hari, bayi Seruni menangis terus sementara Seruni tengah mengantuk berat, bu Haji menawarkan kepadanya untuk menjaga anaknya dan memintanya untuk tetap istirahat karena tampak lelah sekali. Seruni pun mengizinkan, kebahagiaan pun diperoleh oleh bu Haji.
“Tidak ada manusia yang sempurna, bu.” Kata pak Haji. “Nggih, pak. Dan kita menerima itu. Mengikhlaskan bapak menikah dengan seruni adalah pahala terindah buat saya.” Jawab bu Haji.

Muryana
Di Tengah Malam, 27 Desember 2011