Jumat, 03 Mei 2013

Belajar dari Jalanan



The Real Religiousity dalam Hikmah di Balik Kematian Suami Seorang Perempuan Penjual Minuman

 Muryana


Sore itu, 2 Mei 2013, seperti biasa aku menyembut Tuan Putriku di sekolahnya. Kami bermain dulu sebelum pulang, bercerita dan bercanda sambil menikmati jajan pembagian bunda karena ada salah satu siswa PAUD yang berulang tahun. Selamat Ulang Tahun untuk siswa itu.

Seperti biasa, jika ada perempuan penjual minuman, Lintang selalu minta untuk dibelikan. Ya, saya belikan satu untuknya. Tapi, dia minta dua, “Satu untuk tante Rahmah,” katanya. OK, aku belikan dua. Sebelum transaksi dilakukan, biasanya perempuan itu selalu menyapa Lintang. Kali itu, dia bertanya pada Lintang, “kemana aja, kok lama tidak kelihatan.” Saya balik bertanya padanya, “bukannya ibu yang lama tidak jualan?” “Ya, saya habis keseripahan,” jawabnya. “Siapa yang meninggal,” tanya saya. “Suami saya, bu...” jelasnya. “Innalillahi wa innaillaihi rajiuun...” tanggap saya.

Kemudian dia bercerita bahwa baru beberapa hari ini dia berani untuk keluar rumah, setelah beberapa hari tidak beraktivitas. Dia hanya menangis terus dan tidak bisa tidur. Dia merasa menyesal tidak dari awal memeriksakan suaminya ke dokter ketika wajah suaminya merot setelah pulang dari Jakarta. Tapi, sesal itu coba dirasionalisasikan olehnya dan menganggap itu sebagai realitas yang harus dihadapi.

Suaminya meninggal karena stroke. Ketika suaminya dibawa ke rumah sakit, pembuluh darahnya sudah pecah. Dia masih jualan ketika suaminya masuk di ruang UGD. Jadi, dia tidak mengetahui pada saat terakhir suaminya ada.

Hari itu, dia sudah menawarkan kepada suaminya untuk periksa ke dokter. Tapi, suaminya menolak. Suaminya pun masih beraktivitas seperti biasa, main kartu remi, kongko-kongko di cakruk, makan seperti biasa. Jadi, hari itu dia memutuskan untuk kembali berjualan dan setelah suaminya juga menyuruhnya untuk tetap beraktivitas. Akan tetapi, baru dua rumah yang dia datangi untuk menjual minuman, tiba-tiba dia ditelpon oleh tetangganya. Dia diberitahu bahwa suaminya meninggal.

Perempuan yang dikaruniai anak tiga ini, menikah dengan almarhum suaminya beberapa tahun lalu. Suaminya membawa dua anak dan satu anak lainnya adalah anak kandungnya sendiri. Sehari-hari dia berjualan keliling. Dia menjual minuman kesehatan, baik eceran maupun paketan. Untuk menutup hari, dia berjualan di depan pintu gerbang sekolah dan pulang dengan berapapun hasilnya. Suatu hari, dia mengeluhkan bahwa anaknya sakit amandel, saya menyarankannya untuk diterapi pijat di Sambilegi, barangkali jodoh dan sembuh. Hal itu dilakoninya, alhamdulillah anaknya sudah sembuh dengan terapi itu.

Kadang-kadang, saya melihatnya berjualan dengan menggunakan jilbab. Tapi, kadang-kadang saya juga melihatnya dengan rambut terurai. Dia seringkali menggunakan jilban berwarna pink, mungkin karena warna seragamnya berwarna merah dan putih, dan itu lebih sesuai dengan kostum dinasnya. Ketika berjualan, dia juga membawa kedua anak laki-lakinya. Motor di parkir di depan gerbang tanpa mencabut kuncinya dan anaknya dibiarkan bermain di arena bermain sekolah, dia pun duduk sambil menawarkan pada orang tua yang datang dan keluar dari sekolah dengan sangat ramah. Tapi, terkadang hanya diamnya calon pembeli yang lalu lalang yang diperolehnya. Tapi terkadang juga mendapatkan sambutan dari ibu-ibu dan bapak-bapak yang ramah, meski tidak membeli produk minuman yang dijual. Tapi itu lebih membuatnya tersenyum daripada yang diam saja. Tegar dan kuat dalam hidup, itulah yang saya lihat dari sosok perempuan ini.

Ketegarannya itu pun tampak dari pelajaran yang dia ceritakan pasca meninggalknya sang suami. Dia menceritakan bahwa sebelum meninggalnya suami dia tidak pernah shalat, al Qur’an yang ada di rumah pun tidak pernah dibaca. Tapi, setelah suaminya meninggal, dia menjadi rajin shalat dan terus membaca yassin untuk suaminya. Setelah tiga hari meninggalnya suami, dia baru mulai merasakan harus ikhlas untuk melepas kepergian suaminya.

Sebelumnya, dia sangat menyesal. Dia berpikir, andai saja dia tidak menyuruh suaminya bekerja di Jakarta, mungkin kejadiannya tidak seperti ini. Andai saja, dia segera mengobatkan suaminya setelah ada gejala merot di wajah suaminya, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Tapi, perandaian-perandaian yang berorientasi masa lalu itu dilawan dengan perandaian-perandaian yang berorientasi masa depan. Mungkin jika, suami tetap terselamatkan dengan kondisi pembuluh darah yang pecah, suaminya akan tetap hidup tak berdaya dan membutuhkan dirinya secara terus-menerus. Selain itu, mungkin akan lebih banyak uang yang dibutuhkan untuk perawatannya. Mungkin Tuhan mempunyai rencana lain, dengan penghasilan jualan minuman produk jepang itu sangat tidak mungkin membiayai suaminya yang sakit dalam jangka panjang. Oleh karena itu, keputusan Tuhan untuk mengambil suaminya lebih baik untuk kehidupannya dalam pikirannya. Dengan itulah, dia bangkit. Dia berpikir ada anak-anak yang harus diperjuangkan hidupnya. Ada anak-anak yang membutuhkannya. Dengan demikian, dia memutuskan untuk berjualan kembali.

Di samping, pelajaran yang sangat berharga yang dapat diraihnya adalah tentang anaknya. Biasanya, anaknya jika acara yasinan selalu lari-lari, tapi pasca kematian ayahnya hal itu tidak terjadi. Anak-anaknya diam dan mengikuti prosesi yasinan hingga akhir, bahkan mengaminkan doa yang dibacakan. “Mungkin itu bekal untuk ayahnya, doa anak yang sholeh. Katanya, bekal itu doa anak yang sholeh. Katanya, bekal untuk mati orang tua itu amal zariyah. Katanya.” Jelasnya. Dia menekankan kata “katanya” seolah, dia tidak mengerti apa-apa tentang agama. Padahal, cara pandangnya dan caranya menghadapi realitas kematian suaminya adalah the real religiousity menurut saya.

Menunggu Hasil Lab. Di RS, 3 Mei 2013

Tidak ada komentar: